Pekalongan-Memasuki
akhir tahun 2015, Universitas Pekalongan menyelenggarakan Pemilihan Raya (Pemira)
dalam rangka memilih calon presiden dan wakil presiden BEM (Badan Eksekutif
Mahasiswa) beserta ketua Senat.
Pemira
merupakan salah satu bentuk demokrasi di Universitas Pekalongan. Bisa dikatakan
bahwa lemah atau kuatnya pemahaman demokrasi yang dipahami oleh mahasiswa dapat
dilihat dari acara ini.
Lain halnya dengan tahun-tahun sebelumnya,
Pemira Universitas Pekalongan tahun ini mengalami kemerosotan partisipasi yang
cukup parah. Dari sedikitnya calon yang masuk, hingga banyak pemilih yang golput.
Pihak
KPR (Komisi Pemilihan Raya) telah melakukan pengunduran jadwal hingga tiga kali
semenjak bulan September lalu. Pihak KPR sendiri melakukan banyak cara supaya
pelaksanaan Pemira dapat berjalan sebagaimana mestinya seperti penyebaran pamphlet, pemasangan baliho dan penyebaran
surat undangan beserta surat informasi sebagai pemberitahuan mengenai Pemira
untuk Ormawa (Organisasi Mahasiswa) yang ada di Universitas Pekalongan. Harapanya
agar mereka turut berpartisipasi atau ikut serta
mengirimkan delegasinya sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden BEM atau
bakal calon ketua Senat. Namun, hingga bulan Oktober calon yang masuk dan
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh KPR hanya ada satu pasang calon
presiden dan wakil presiden BEM dan satu calon untuk ketua Senat. Hal ini
menunjukkan buruknya partisipasi demokrasi dari pihak mahasiswa, terutama para
Ormawa.
Untuk menangani kasus ini, pihak KPR
mulai mengupayakan cara lain dengan mengadakan Musyawarah Luar Biasa (Muswalub),
pada Sabtu, 7 November 2015 dengan mengundang wakil delegasi dari seluruh Ormawa.
Musyawarah ini hanya dihadiri oleh separuh dari Ormawa yang ada di Universitas
Pekalongan, yaitu 17 dari 28 Ormawa. Musyawarah berlangsung lancar meskipun terjadi
beberapa adu pendapat yang cukup sengit di antara beberapa wakil delegasi ormawa
dengan pihak KPR. Usaha yang dilakukan oleh KPR dengan mengadakan Muswalub berhasil
menarik beberapa calon yang diusulkan oleh pihak Ormawa. Satu pasang calon
presiden dan wakil presiden BEM dan tiga orang calon ketua Senat.
KPR telah mencatat dan memberi
rentang waktu dua hari kepada para calon yang mengajukan diri untuk melengkapi
persyaratan. Namun pada waktu yang ditentukan, pasangan calon presiden dan
wakil presiden BEM yang diajukan oleh pihak Ormawa tidak memenuhi syarat. Begitu
juga dengan calon ketua Senat. Hingga akhirnya, pada saat ditetapkannya acara
debat terbuka, KPR harus menelan kekecewaan lagi. Hal ini kemudian menjadi
perhatian berbagai pihak, hingga Bu Benny Diah Madusari selaku wakil Dekan 3 bagian
Kemahasiswaan ikut turun tangan dalam membantu pengambilan keputusan oleh KPR.
Masalah kurangnya partisipasi calon
tahun ini adalah kali pertama dalam sejarah pesta demokrasi yang ada di
Universitas Pekalongan. Hingga beberapa hari sebelum ditetapkannya Pemira,
yaitu tanggal 26 November 2015 kemarin, calon yang benar-benar memenuhi syarat
hanya satu pasang untuk calon presiden dan wakil presiden, yaitu Haryono dari
Fakultas Ekonomi dan Johan dari Fakultas Hukum. Serta dua calon untuk ketua Senat,
yaitu Farid dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pedidikan dan Tauji dari Fakultas
Ekonomi. Hingga akhirnya, KPR terpaksa tetap melakukan Pemira meskipun dengan
calon presiden dan wakil presiden tungal. Inilah salah satu alasan kenapa
partisipasi pemilih saat Pemira turut mengalami kemerosotan dari tahun-tahun
sebelumnya.
Hal ini seharusnya menjadi sorotan
khusus dan evalusi besar-besaran untuk seluruh warga Universitas Pekalongan.
Jika hal ini berlangsung terus-menerus, artinya setiap tahun mengalami
kemerosotan partisipasi terhadap demokrasi, maka bukan hanya KPR saja yang
dibuat lelah dan pusing dengan permasalahan ini. Namun juga menjadi
permasalahan yang melelahkan bagi seluruh warga Universitas Pekalongan karena
merupakan suatu evaluasi penting mengenai buruknya demokrasi yang ada di kampus
kita. (Eni R, Ulfi M)
Komentar
Posting Komentar