Penulis: Diki Mardiansyah
Media semakin tidak memegang etika jurnalistik dan menuju keadaan yang semakin mengkhawatirkan. Banyak malpraktik di industri media. Profesi wartawan banyak digunakan oleh orang-orang yang tidak jelas, hanya untuk mencari keuntungan pribadi semata. Baik dengan mencari “amplop”, memeras, clickbait, membuat media “abal-abal” yang tujuannya hanya mencari uang, atau menjadikan media memuat berita yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan
Hal itu, saya kira, menjadi pelanggaran kode etik yang sangat serius dan semakin menggejala. Dengan dilanggarnya kode etik jurnalistik itu, implikasinya adalah media tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan karena membuat berita yang tidak berkualitas dan bermutu. Padahal, media menjadi sarana penting untuk menyampaikan pesan tentang kemanusiaan. Sebab, kemanusiaan adalah nilai universal yang dapat menjadi landasan keharmonisan di dalam kehidupan. Sekarang, saatnya kita mengampanyekan dan membangun iklim media yang bermisi “memanusiakan manusia”
Problem Media Massa dan Media Sosial
Seperti yang kita ketahui bersama, kita mengenal dua media: media massa (konvensional dan daring) dan media sosial. Ada masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dan kemanusiaan pada dua media itu. Media konvensional yang menjalankan laku jurnalistik seharusnya bertahan dengan prinsip, meski situasinya sekarang berat. Bukan malah kehilangan orientasi dengan membuat konten asal-asalan yang tidak memperhatikan nilai kemanusiaan.
Tidak memungkiri, media-media mutakhir ini melahirkan berita-berita yang jauh dari nilai kemanusiaan. Suatu kali saya mendengarkan PodCast menarik dari Wisnu Prasetya Utomo, PodCast yang bertema media dan jurnalisme. Wisnu dalam suatu episode mengutarakan, “Pemberitaan dangkal di beberapa media arus utama, clickbait, sensasional, dan lain sebagainya. Hampir setiap hari kualitas jurnalisme kita semakin memburuk”.
Apalagi, mutakhir ini adanya kejadian kecelaakaan pesawat telah menghadirkan jurnalisme firasat, jurnalisme gaya baru karena tidak sedikit dari media-media memberitakan firasat keluarga korban kecelakaan. Selain itu, lahir juga berita-berita sensasional yang merugikan orang-orang yang terpinggirkan, dan berita-berita lain yang justru mencoreng dunia jurnalistik.
Sementara itu, baru-baru ini, berdasarkan data Digital News Report 2021 melaporkan tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap berita media ada di angka 39 persen, ini angka yang cukup rendah. Ini menjadi alarm untuk media-media di Indonesia agar mengevaluasi mengapa orang-orang di Indonesia tidak percaya dengan media.
Menurunnya tingkat kepercayaan tersebut bukan tanpa sebab. Ahmad Arif, wartawan Kompas menulis Catatan Iptek berjudul “Bahaya “Toxic Positivity” di harian Kompas 28 Juli 2021. Arif mencatat, “Pesan berisi ajakan agar kita tidak membaca dan menyebarkan informasi tentang Covid-19 menyebar luas di berbagai media sosial.”
Hal itu lahir karena media selalu memberitakan kabar buruk. Namun, sebenarnya berita buruk di masa pandemi ini bukan menjadi masalah karena memang fakta yang terjadi pun demikian. Tapi, yang menjadi masalah adalah adanya media-media yang memuat judul tidak sesuai dengan isinya, judul dan berita yang tidak mencerminkan sisi kemanusiaan.
Selain itu, beredarnya informasi di media sosial dengan cepat menjadi salah satu penyebab masyarakat tidak percaya dengan media massa. Padahal informasi yang beredar di media sosial tidak mesti menjadi berita yang valid. Berita adalah informasi yang sudah dikonfirmasi, diklarifikasi, dan diverifikasi oleh wartawan. Sedangkan informasi media sosial bukanlah produk jurnalistik karena tidak melalui proses-proses konfirmasi, klarifikasi, dan verifikasi.
Seperti digambarkan David Levy, Direktur The Reuters Institute for the Study of Journalism, Universitas Oxford, media konvensional terpacu menjalankan genre jurnalisme yang mengejar kecepatan, aktualitas, sensasionalitas, dan interaktivitas dalam arena pacuan yang sedemikian dikuasai media sosial.
Media konvensional terpancing menurunkan standar etika dan profesionalisme sebagi strategi mempertahankan hidup di dalam lanskap komunikasi-informasi baru yang sesungguhnya merupakan habitat alami dari kompetitornya. Ruang bermedia yang melonggarkan etika berkomunikasi dan moralitas ruang publik adalah ruang hidup media sosial. Jenis media baru yang tak terdefinisikan menurut etika dan regulasi media komunikasi, tetapi hadir sebagai kekuatan raksasa digital yang mengubah lanskap ekonomi-politik media global ataupun nasional.
Ada sebuah artikel menarik dari remotivi.or.id. Situs pengawas media itu mencatatkan problem Etika dalam Jurnalisme Daring, Kecepatan dalam jurnalisme daring ini membawa masalah tersendiri. Kecepatan, apabila menjadi paradigma utama dalam produksi berita, berpotensi membuahkan pelanggaran kode etik jurnalistik. Demi mengejar kecepatan, sebuah media daring kerap menyajikan data yang salah—terkadang bahkan fatal—atau menyajikan berita yang tidak etis dan relevan bagi publik.
Pelanggaran Etika Media
Dalam buku Jurnalisme Era Digital: Tantangan Industri Media Abad 21 (Penerbit Buku Kompas, 2014), media berbeda dengan industri atau perusahaan jasa lainnya. Media memiliki tanggung jawab untuk berpihak kepada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan pemilik media. Jurnalisme mengemban kepentingan publik itulah yang menjadi tantangan utama industri media kini.
Selain itu, Zulkarimein Nasution dalam bukunya yang bertajuk Etika Jurnalisme: Prinsip-prinsip Dasar (Rajawali Pers, 2015), mengatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan media massa disebabkan ketidakpahaman para jurnalis akan etika jurnalisme. Padahal, etika jurnalisme dianalogikan seperti sebuah kompas di sebuah kapal. Media dan para jurnalis layaknya nakhkoda yang membutuhkan navigasi agar tidak tersesat dalam melaksanakan misinya yang mulia: mencari dan menyampaikan kebenaran.
Kita sejenak menyimak opini Agus Sudibyo, seorang pendiri Indonesia New Media Watch di Harian Kompas bertarikh 27 Maret 2017, Agus menjelaskan: Hari ini begitu mudah menemukan berita yang tak berimbang, tanpa verifikasi, atau melanggar asas praduga tak bersalah. Begitu mudah pula kita menemukan berita dengan judul yang tidak menggambarkan isi, bombastis, atau menghakimi. Begitu mudah orang mendirikan media atau menjadi wartawatan tanpa pemahaman komprehensif tentang jurnalisme dan bagaimana jurnalisme mesti dijalankan.
Jurnalisme hari ini juga semakin kurang membuat orang segan dan menaruh respek karena begitu lazim dipraktikkan secara main-main dan tidak memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Pelanggaran hukum dan etika media terjadi begitu bebas tanpa ada konsekuensi serius bagi pelakunya. Para pengambil kebijakan, penegak hukum, masyarakat, dan pelaku media semakin toleran terhadap pelanggaran tersebut.
Psikolog dan penulis buku The Big Disconnect: Protecting Chilhood and Family Relationship in the Digital Age, Catherine Steiner-Adair, mengkhawatirkan banyaknya materi kejam dan mempermalukan yang diunggah di media sosial dan menjadi hit atau disukai banyak orang. Semakin negatif, pengunggah justru maki populer. Bahkan, makin sering pula kasus remaja yang bunuh diri akibat dirundung di dunia maya. Dampak perundungan itu tidak hanya dirasakan di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata. Ini tidak dianggap sebagai hal yang buruk, tetapi biasa saja. Dari peristiwa itu, jelas menunjukan bagaimana urgensi kemanusiaan dalam sebuah media.
Jika kita tidak ada sikap menolak yang jelas terhadap sikap dan perilaku jahat, kejam, dan penuh kebencian di dunia maya, lama-lama akan terbentuk budaya di mana masyarakat akan menganggap sikap dan perilaku buruk itu sebagai hal normal bahkan lucu. Pada titik ini, manusia akan kehilangan kemanusiaannya.
Hoaks Media dan Urgensi Kemanusiaan
Ketakutan terhadap hoaks dan berita palsu membuat kepercayaan masyarakat kepada media sosial menurun. Namun, ketakutan tersebut juga menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada media massa menurun karena secara umum masyarakat belum bisa membedakan platform dan konten media sosial.
Profesi wartawan memang telah sekarat bukan karena ditusuk oleh profesi lain, melainkan karena ditikam oleh wartawan sendiri. Di sini terutama, sudah bukan rahasia, sebagian besar wartawan tidak tahu dan tidak pernah membaca kode etik jurnalistik.
Dalam buku “Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan” gubahan Rusdi Mathari, disebutkan “hoaks sebetulnya lebih dari sekadar berita atau kabar bohong. Ia adalah informasi yang sengaja dibuat dengan maksud menipu atau mengelabui orang [banyak]. Tipuannya kadang disertai dengan referensi data dan fakta. Tujuannya bisa untuk mendapatkan keuntungan secara politis dan ekonomi, tapi bisa juga untuk sekadar humor dan olok-olok”.
Soal media dan hoaks, kita diingatkan lagi oleh penulis kondang dan wartawan senior sekaligus pendiri Tempo--Goenawan Mohamad yang menyatakan “Jurnalistik adalah dunia yang mestinya tidak boleh ada kebohongan, prasangka, dan itikad buruk”. Pada akhirnya, media berperan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan menghidari berita hoaks.
Membangun Media yang Humanis dan Berkemanusiaan
Dalam penyampaian informasi oleh berbagai macam media, banyak yang tak memiliki visi kemanusiaan dan humanis dalam bermedia, terlebih berita-berita seputar pahlawan garda terdepan penanganan Covid-19. Media seyogianya memiliki “visi” dalam setiap pemberitaannya. Dalam hal ini, media yang memiliki visi terlebih visi soal humanisme adalah harian Kompas. Menurut saya, media-media lain bisa mengikuti visi media Harian Kompas dalam pemberitaannya yang humanis dan bisa mencerahkan pembacanya.
Dalam buku yang ditulis oleh Sindhunata berjudul “Belajar Jurnalistik Dari Humanisme Harian Kompas”, dinyatakan bahwa “Wartawan seharusnya bekerja berdasarkan visi surat kabarnya. Tanpa visi itu, ia akan terjerumus ke dalam kedangkalan dan kehilangan arah”. Karena itu, harian Kompas selalu berusaha untuk menyajikan nilai-nilai humanis kepada pembacanya. Menyampaikan informasi sekaligus pencerahan kepada pembacanya. Di sini Kompas dipanggil untuk menjalankan tugas humanisme, sebab pencerahan adalah salah satu tujuan pokok yang ingin dicapai oleh humanisme.
Humanisme yang lebih dari sekadar berita tentang manusia dan kemanusiaan, namun juga bermuatan perjuangan sosial. Seorang wartawan akan bisa menulis berita dengan lebih baik, dalam, tajam dan mengena, bila berpihak pada visi, dan menghayati tugas jurnalistiknya dengan visi tersebut. Media selayaknya bisa menyesuaikan dan berperan dalam pemberitaannya yang humanis dan berkemanusiaan. Dengan hal itu, pembaca akan tercerahkan dan empati terhadap kondisi saat ini. Pada akhirnya, dalam iklim baru media, selalu terbuka kemungkinan untuk meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Membangun jurnalisme dan media yang memanusiakan manusia.
Referensi:
Haryanto, Ignatius. 2015. Jurnalisme Era Digital: Tantangan Industri Media Abad 21. Jakarta:Penerbit Buku Kompas
Mathari, Rusdi. 2018. Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan. Sleman: Mojok
Nasution, Zulkarimein. 2015. Etika Jurnalisme: Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta: Rajawali Pers
Sindhunata. 2019. Belajar Jurnalistik Dari Humanisme Harian Kompas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Harian Kompas, 27/3/2017, 28/8/2018, 17/11/201, 6/8/201, 3/4/2021,12/4/2021
Komentar
Posting Komentar