Secara etimologi, kata bahasa berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu bhāṣā yang berarti
kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya
menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Dalam pedoman Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), bahasa memiliki pengertian yaitu suatu sistem lambang bunyi
yang arbitrer digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Di pengertian lainnya menyebutkan,
bahasa adalah segala bentuk komunikasi di mana pikiran dan perasaan seseorang
disimbolisasikan agar dapat menyampaikan arti kepada orang lain. Bahasa
mencakup segala bentuk komunikasi, baik yang diutarakan dalam bentuk lisan,
tulisan, bahasa isyarat, bahasa gerak tubuh, ekspresi wajah, ataupun seni.
Nah, kalian tahu nggak
sih, bagaimana cara seorang anak memperoleh bahasa pertamanya? Seorang anak
memperoleh bahasa pertamanya melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Tidak hanya dengan orang tuanya atau orang dewasa yang ada di sekeliling,
tetapi juga dengan teman sebayanya. Ketika seorang anak mendengar pengucapan
kata dari orang lain, mereka akan menirukan setiap kata yang diucapkan oleh
orang tersebut. Kemudian ia akan mengulangnya secara terus menerus. Nah, dari
sinilah seorang anak belajar cara melafalkan suara dan kata-kata. Mereka akan
tampak senang saat menirukan suara yang mereka dengar.
Seorang anak belajar bahasa dari pengalaman berbahasa
mereka. Proses belajar anak dalam memperoleh bahasa pertamanya ini bertahap.
Pada saat seorang anak berhasil mengucapkan kata yang memiliki makna, berarti
ia telah menghabiskan waktunya dalam bermain suara dan intonasi agar dapat
melafalkan suatu kata yang bermakna.
Waktu yang dibutuhkan setiap anak untuk bisa berbahasa
pun berbeda. Seorang anak yang tumbuh di lingkungan dengan banyak percakapan,
tentu akan lebih mudah memperoleh bahasa. Sedangkan seorang anak yang tumbuh di
lingkungan dengan sedikit percakapan, tentu akan lebih lama memperoleh bahasa.
Tangisan seorang bayi adalah suara pertama yang
dikeluarkan bayi. Dari tangisan itulah, seorang bayi dapat berinteraksi dengan
sekelilingnya. Biasanya, seorang bayi menangis untuk mengekspresikan bahwa ia
sedang merasa tidak nyaman. Entah itu lapar, haus, ketakutan, dan lain
sebagainya. Baru saat usianya beranjak enam minggu, bayi mulai mengeluarkan
suara vokal seperti aah, ee, dan ooh.
Selanjutnya saat anak berumur enam bulan, seorang anak
baru dapat melafalkan suara vokal konsonan, misalnya boo, ma, dan da. Pada fase
inilah, seorang anak akan bermain dengan pengucapannya serta memilah-milah
suara untuk membentuk kata yang bermakna. Sehingga pada fase ini, orang tua
akan mendengar anaknya seperti mengucapkan "mama".
Kemudian saat anak berumur satu hingga satu setengah
tahun, anak akan mulai mengucapkan satu kata dengan makna. Biasanya kata
tersebut adalah kata "isi" (subjek, predikat, objek) dan bukan kata
konjungsi (penghubung), contohnya, roti dan main. Beranjak usia dua tahun,
seorang anak akan mulai mengucapkan satu kata singkat dengan menggabungkan dua
kata, seperti "roti coklat" dan "main bola". Pada usia-usia
selanjutnya, anak akan terus belajar hingga berhasil dalam mendapatkan bahasa
pertamanya. Keberhasilan ini ditandai dengan semakin sempurnanya pengucapan
seorang anak untuk berkomunikasi. Suara yang dihasilkan sudah berbentuk kalimat
yang panjang dan anak tersebut akan merasa nyaman dan fasih.
Pada umumnya, bahasa pertama yang dikuasai seorang
anak disebut dengan bahasa ibu atau mother
tongue atau native language. Di
beberapa negara, istilah penyebutan bahasa ibu merujuk pada bahasa suatu
kelompok etnis. Sedangkan bahasa kedua adalah jenis bahasa yang bukan bahasa
ibu (bahasa utama) bagi penutur, akan tetapi sering digunakan di lingkungan
sekitarnya.
Perolehan bahasa kedua berbeda dengan perolehan bahasa
ibu. Biasanya seorang anak mulai mengenal bahasa baru dari lingkungan
pendidikannya. Kemudian mereka akan diminta untuk mempelajarinya. Sebelum
diajarkan bahasa kedua, anak harus mampu menguasai bahasa pertama atau bahasa
ibunya. Hal ini diharapkan dapat membantu anak-anak yang kesulitan mengartikan
bahasa asing.
Lalu, apakah kemampuan berbahasa dapat menentukan
kecerdasan seseorang? Dr. Widodo Judarwanto, Sp.A. menuturkan, jika
perkembangan berbahasa dapat menentukan baik tidaknya perkembangan intelektual
seseorang. Bila perkembangan bahasanya baik, tentu intelektualnya akan baik,
begitupun sebaliknya. Meski begitu, faktor lainnya juga perlu diperhatikan,
misalnya perkembangan motorik dan perkembangan sosial.
Untuk itu, sebagai orang tua sangat perlu
memperhatikan perkembangan kemampuan bahasa anaknya. Jika seorang anak
mengalami keterlambatan dalam perkembangan berbahasa, maka orang tua perlu
melakukan evaluasi mandiri. Apakah ada yang bermasalah dengan anaknya atau
mereka yang kurang optimal dalam mendidik si anak.
Keterlambatan anak dalam perkembangan berbahasa akan
berdampak buruk bagi kehidupannya. Tidak hanya mengenai kecerdasan linguistik
seorang anak, tetapi juga kemampuan sosialnya. Anak yang fasih dalam kemampuan
berbahasa, memudahkannya untuk berinteraksi dengan lingkungan. Dengan begitu,
seorang anak dapat memilih dan memilah nilai-nilai yang ia peroleh dari
lingkungan sekelilingnya.
Selain itu, kecerdasan linguistik digunakan untuk
mengungkapkan serta mengekspresikan pendapat atau pikirannya melalui bahasa
verbal maupun nonverbal secara jelas dan lugas dengan tatanan bahasa.
Kecerdasan ini melingkupi penguasaan kata yang matang, suara dan ritme yang sangat
jelas dan tenang, serta intonasi yang diucapkan sangatlah baik. Kecerdasan
linguistik juga dapat digunakan sebagai kemampuan untuk menggunakan dan
mengolah kata-kata secara efektif, baik secara oral maupun tertulis, seperti
yang dimiliki para pencipta puisi, editor, jurnalis, sastrawan, pemain
sandiwara maupun orator.
Pengalaman berbahasa ini pertama kali didapatkan anak dalam lingkungan keluarga. Keluarga berperan penting dalam mengembangkan kecerdasan verbal linguistik. Dengan demikian, penting bagi orang tua untuk menciptakan lingkungan-lingkungan yang penuh dengan aktivitas bahasa. Orang tua juga harus melibatkan anak dalam interaksi verbal, misalnya bermain dengan kata-kata, bercerita dan bercanda, mengajukan pertanyaan, mengungkapkan pendapat, dan menjelaskan perasaan dan konsep-konsep.
Penulis: Kirana Ayudya W
Editor: Reza Firnanto
Ilustrator: Rosa Arlina
Komentar
Posting Komentar