Raja Ampat, surga bahari kita, mendadak jadi sorotan karena kabar penambangan nikel. Pertanyaan besar pun muncul: benarkah ancaman ini adalah "warisan" lama dari era Orde Baru? Kisah ini memang rumit, melibatkan berbagai pihak, mulai dari aktivis lingkungan yang gigih, kebijakan pemerintah, sampai sejarah panjang konsesi tambang di negeri ini.
Greenpeace, misalnya, jadi salah satu suara paling keras yang menyoroti dampak serius tambang nikel dan proses hilirisasinya di Raja Ampat, Papua. Menurut Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, aktivitas tambang di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran itu sudah membabat lebih dari 500 hektare hutan. Dampaknya? Bisa merusak 75% terumbu karang dunia, berbagai jenis ikan, bahkan satwa khas Papua macam cendrawasih botak. Pastinya, ini juga mengancam sektor ekowisata yang jadi tumpuan utama pendapatan Raja Ampat. Tak heran, para aktivis Greenpeace sampai turun ke jalan di Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, membentangkan spanduk "Nickel Mines Destroy Lives" dan "Save Raja Ampat from Nickel Mining" Mereka mengkritik habis-habisan kerusakan hutan, pencemaran air, dampak krisis iklim, dan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan hilirisasi nikel yang mereka anggap tidak adil.
Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mencoba menjelaskan. Menurutnya, memang ada lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, tapi cuma PT GAG Nikel yang beroperasi sejak 2018. Lokasi tambangnya pun katanya 30 kilometer dari Pulau Piaynemo, salah satu ikon wisata. Tapi, Bahlil akhirnya memutuskan untuk menghentikan sementara operasional tambang nikel ini dan langsung mengirim tim Kementerian ESDM untuk verifikasi lapangan.
Tapi, kenapa sih Raja Ampat yang heboh, padahal banyak eksploitasi lain di Indonesia yang juga meresahkan? Contohnya, tambang nikel di Halmahera, Maluku Utara, yang terus-menerus mencemari perairan Teluk Weda dan Teluk Buli. Atau isu yang sama di Rembang. Nah, ini yang bikin kita bertanya-tanya: benarkah masalah ini memang "warisan" turun-temurun sejak era Presiden Soeharto?
Ternyata, tambang nikel di Raja Ampat, terutama yang dioperasikan PT Gag Nikel, memang bukan proyek baru. Ini adalah "warisan" kebijakan lama dari pemerintahan Soeharto tahun 1998, saat beliau meneken kontrak karya dengan PT Gag Nikel. Sempat tertunda di era Gus Dur karena Pulau Gag ditetapkan sebagai hutan lindung, tapi di era Megawati tahun 2004, justru dikasih dispensasi lagi untuk tambang di hutan lindung, termasuk PT Gag Nikel. Bahkan, Inpres No. 1/2004 mengizinkan 13 perusahaan tambang (termasuk PT Gag Nikel dan Freeport di Papua) untuk lanjut beroperasi di hutan lindung, dengan alasan mereka punya kontrak sebelum UU 1999 berlaku. Inpres ini juga mewajibkan perusahaan untuk reklamasi dan rehabilitasi lingkungan secara ketat. Sempat tidak ada peninjauan ulang maupun pembatalan dispensasi pada era SBY tahun 2004 hingga 2014. Hingga akhirnya izin operasi PT Gag Nikel diterbitkan pada era Jokowi tahun 2017 dengan mulainya produksi di tahun 2018. Sejalan dengan itu, PT Kawei Sejahtera Mining beroperasi mulai Agustus 2023.
Jadi, jelas sudah. Kontroversi tambang nikel di Raja Ampat ini bukan cuma soal tantangan lingkungan dan sosial saat ini, tapi juga cerminan dari kebijakan pertambangan masa lalu yang telah mewariskan kerumitan regulasi dan dampak lingkungan yang kita rasakan sampai sekarang.
Sumber:
https://www.instagram.com/p/DKhrkE3ydpe/?img_index=4&igsh=MWhqOHlybGl2Ymp0bQ==
https://www.tempo.co/hukum/dampak-tambang-nikel-di-raja-ampat-versi-greenpeace-1654703
https://www.instagram.com/p/DKef03TPQpC/?img_index=4&igsh=aWI5NXoyb216Mzcy
https://drive.google.com/file/d/1OzqqJZ8a1qnK-ZN-CCkRi7u0XrwJYAoh/view?usp=drivesdk
Komentar
Posting Komentar