Penulis: Muhammad Arsyad
(Juara 1 Lomba Esai Festival Jurnalistik LPM Suaka UNIKAL 2021)
Kiwari banyak bermunculan akun-akun media
lokal di Instagram. Riset Ross Tapsell dan Sita Dewi menyebut, kemunculan akun
berita lokal di Instagram merupakan akibat dari konglomerasi media dan
pemberitaan yang jakartasentris. Dalam
riset tersebut, akun-akun berita lokal mengadopsi nama-nama koran, seperti @InfoBandungKota, @KabarTangsel, dan @KabarJogja.
Lewat risetnya itu, Ross Tapsell dan Sita
Dewi menjelaskan, akun-akun berita lokal
telah membantu masyarakat terutama selama pandemi. Misalnya, membantu
menginformasikan kondisi rumah sakit, area penularan, serta pusat vaksinasi.
Hal yang memang sangat krusial di hari ini. Mengingat tren konsumsi media
sosial di Indonesia belakangan pun cukup tinggi.
We
Are Social merilis pengguna media
sosial di Indonesia Tahun 2021 sebanyak 170 juta pengguna. Dari jumlah
tersebut, 98 persennya aktif mengonsumsi media sosial melalui ponsel. Pengguna
media sosial kebanyakan adalah usia 34 tahun ke bawah. Sementara, sebagian
besar pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan minimal 3 jam per hari di
platfrom media sosial.
Tahun 2021 ini Instagram mampu menikung
Facebook sebagai platform media
sosial dengan pengguna paling banyak. Laporan Facebook (pihak yang mengakuisisi
Instagram) merilis, para pengiklan di Instagram mampu menjangkau 85 juta
pengguna di Indonesia. Instagram juga membuat penggunanya betah berlama-lama
mengunjungi banyak laman. Oleh sebab itu, Instagram menjadi pasar yang sangat
menjanjikan.
Melihat tren pengguna media sosial yang
cukup signifikan, maka wajar kalau akun berita lokal instagram juga bergeliat
di Pekalongan. Warga Pekalongan tentu sangat familiar dengan akun @pekalonganinfo. Akun berita lokal yang
awalnya mengusung konsep citizen
jurnalism ini sudah menjadi salah satu rujukan informasi warga Pekalongan
di Instagram. Wajar kalau @pekalonganinfo
sampai saya menulis ini, pengikutnya mencapai 369 ribu followers.
Jumlah tersebut lebih banyak daripada akun
lain, seperti @pekalonganpost dengan
41 ribuan pengikut, dan @beritapekalongan1
dengan 27 ribuan pengikut. Itu belum media arus utama yang juga ikut bergeliat
di Instagram, seperti Radar Pekalongan. Tapi saya sedang tidak membahas media
mainstream.
Spektrum pembahasan saya adalah akun @pekalonganinfo, @pekalonganpost, dan @beritapekalongan1.
Ketiganya mengusung konsep jurnalisme warga. Sebuah konsep yang menimbulkan
pertanyaan, apakah setiap warga mampu menjalankan kerja jurnalistik yang
bertanggung jawab?
Priambodo RH, dari Lembaga Pers Dr.
Soetomo yang juga dikutip Andreas Harsono dalam bukunya Agama Saya Jurnalisme mengatakan, "Perkembangan jurnalisme
warga saat ini baru seumur kepompong, belum menjadi kupu-kupu. Karena itu untuk
melahirkan jurnalisme warga yang indah dibutuhkan pembelajaran." Hal itu
kemudian dipertegas oleh Andreas Harsono dalam kalimat berikutnya. Bahwa
jurnalisme warga hanya melahirkan budaya copy-paste
dan sampah.
Nah, akun-akun berita lokal di Instagram,
seperti @beritapekalongan1, @pekalonganpost, dan @pekalonganinfo membuktikan bahwa apa
yang ditulis Andreas Harsono itu tepat sekali. Ketiganya bahkan jauh lebih
parah dari sekadar copy-paste. Akun
berita lokal justru menimbulkan ironi baru di tengah "badai
informasi" yang terasa lebih menghancurkan daripada tornado.
Akun @pekalonganinfo,
@beritapekalongan1, dan @pekalonganpost tak hanya menyuguhkan
informasi yang belum jadi. Mereka lebih mengutamakan iklan dan interaksi
pengguna seperti like dan tayangan.
Tak peduli kualitas informasi, yang terpenting interaksi meningkat dan mampu
mendatangkan profit yang tidak sedikit. Dari ketiga akun tersebut, ada yang
bekerja secara kolektif dan ada pula yang individual.
Memang ketiganya memfilter informasi
sebelum membagikannya. Namun yang disayangkan, filternya tak seperti saringan
tahu. Banyak informasi sensasional dan bombastis yang diunggah. Ambil contoh
video seorang transgender yang menari dan menunjukkan buah dadanya di @beritapekalongan1 yang sudah ditonton
10 ribuan pengguna. Apa urgensinya mengunggah video semacam itu?
Akibatnya justru banyak netizen yang
melakukan cyber bullying terhadap
transgender tersebut, dan mempertebal stigma negatif terhadap transgender. Sebelumnya,
stereotipe terhadap komunitas LGBT dilanggengkan media mainstream, dan kini
dipertebal oleh akun berita lokal. Padahal Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
telah menegaskan bahwa memberitakan kelompok minoritas seperti LGBT tetap harus
berimbang.
Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
menyebut bahwa wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan
suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Sedangkan apa yang diunggah @beritapekalongan1
lebih dekat kepada tindakan eksploitasi komunitas LGBT. Informasi yang
merendahkan kelompok tertentu juga ada di @pekalonganinfo
saat mengunggah informasi soal warga Paninggaran, Kabupaten Pekalongan yang
resah tempatnya dijadikan pembuangan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa).
Narasi akun @pekalonganinfo itu mempertebal stigma negatif ODGJ yang bisa mengganggu
kenyamanan warga. Buntutnya memperjelas kalau ODGJ menciptakan kriminalitas,
brutal, ganas, dan berbahaya. Padahal ODGJ ini lebih tepat disebut ODGP (Orang
dengan Gangguan Psikotik), karena dunia medis tidak ada istilah
"gila". Ditinjau dari riset Andrea Zvonkovic dari Columbia University
yang dikutip Tri Handoko dalam tulisannya di Remotivi.or.id, tindakan kriminal yang terkait langsung dengan ODGP
kemungkinannya kecil, yaitu 4% saja.
Namun, akun @pekalonganinfo berhasil mereduksi konteks ODGP yang semestinya tak
distigmatisasi negatif. Sebagai media yang lahir dari masyarakat seyogyanya @pekalonganinfo mampu mengambil sudut
pandang yang lebih jernih. Kita sudah sering membaca berita mengenai ODGP yang
distigma negatif di media massa, maka akun semacam @pekalonganinfo seharusnya tidak usah tiru-tiru.
Permasalahan juga muncul ketika akun-akun
berita lokal mengunggah kasus asusila. Beberapa hari lalu, dua orang kepergok
sedang berhubungan badan di bawah jembatan di daerah Petungkriyono, Kabupaten
Pekalongan. Foto kedua orang itu kemudian diunggah oleh akun @pekalonganinfo dan @pekalonganpost. Sontak postingan
tersebut mengundang banyak komentar.
Kebanyakan netizen justru seolah
menormalisasi hal itu. Komentar seperti “kok
diblur min”, “ra mampu nyewo hotel po”,
“mbok yo do modal ngunu lho, iki podo
nang petung ki sing mbensini wedoke to?”, “jangan ditiru ya nak. Mending modal dikit nyewa kosan temen lah minimal”
bermunculan. Komentar-komentar itu justru mewajarkan pemerkosaan dan membuat
perempuan seolah tak berdaya. Perempuan yang bakal dianggap tidak bermoral, terlalu
bernafsu, dan sebagainya.
Unggahan akun berita lokal @pekalonganinfo, @beritapekalongan1, dan @pekalonganpost
sangat minim empati. Apalagi jika unggahan informasi tersebut berkaitan dengan
kelompok rentan dan minoritas. Maka, benar apa yang dikatakan Guru Besar Ilmu
Komunikasi Universitas Padjadjaran, Deddy Mulyana. Bahwa media sosial sanggup
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kehadiran akun berita lokal seperti ketiga
akun di atas semakin jelas mendorong terjadinya erosi kemanusiaan. Pelan namun
pasti. Dalam keilmuan komunikasi massa, hal itu bisa dikaji menggunakan teori
peluru atau jarum hipodermik. Yang mana media massa memiliki kuasa penuh,
sedangkan komunikan atau pembaca sebagai subjek yang pasif.
Media menganggap bahwa khalayak hanya
sekumpulan orang yang homogen. Jadi apa saja yang disampaikan pasti akan
diterima. Namun, tampaknya teori jarum hipodermik ini belum pernah untuk
mengkaji fenomena akun berita lokal. Apalagi akun-akun tersebut tidak
menghasilkan apa yang disebut produk jurnalistik. Meski menyebarkan informasi,
akun berita lokal tidak bisa dikategorikan sebagai media massa yang
menghasilkan berita.
Sebab persyaratan untuk menjadi media
adalah memiliki susunan redaksi yang jelas. Ironisnya, akun-akun berita lokal
ibarat mata pisau. Satu sisi mengaver informasi yang tidak ada di media arus
utama, tapi di sisi lain justru ikut menyebarkan misinformasi dan mengerosi
kemanusiaan.
Akun berita lokal ini sering kali luput
dibahas, pun sangat sulit terjerat hukum. Belum ada pasal yang mengatur mengenai
akun berita loka. Padahal perkembangannya sangat pesat. Kemenkominfo, Dewan
Pers, sampai Polisi Siber tak kuasa menindak akun-akun tersebut. Dewan Pers kesulitan
mengawasi karena itu bukan media massa, sementara Kemenkominfo dan Polisi Siber
kelimpungan, karena akun tersebut kebanyakan anonim atau alter.
Akhirnya netizen sendiri yang melakukan
pengawasan. Jika ada postingan tak pantas atau hoaks, netizen yang memberitahu
admin. Kemudian ketika admin merasa apa yang disangkakan netizen benar, maka postingan bisa di-takedown admin. Hal itu sejujurnya kurang efektif, sebab semua
keputusan berada di tangan admin. Kalaupun postingan bermasalah di-takedown, bukan tidak mungkin postingan serupa muncul lagi. Terlebih
tidak ada otoritas yang mengawasi dan mengevaluasi akun-akun tersebut.
Padahal bukan tidak mungkin jika akun-akun
berita lokal akan menjadi kanal rujukan warga setempat. Akun-akun tersebut
perlu membagikan informasi secara akurat. Selain juga harus bisa menghormati
hak-hak asasi manusia. Entah itu kelompok dominan maupun minoritas. Stop pemberitaan
yang memojokkan!
Penulis: Muhammad Arsyad,
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Pekalongan.
DAFTAR PUSTAKA
Andreas Harsono, Agama
Saya Adalah Jurnalisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2010)
Nurfiah
Atianingsih, Skripsi: “Pengaruh Terpaan
Iklan Produk Wardah Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pada Mahasiswi
Fakultas Ekonomi Di Universitas Semarang (Usm) Pagi” (Semarang: Universitas
Semarang, 2018).
https://www.unpad.ac.id/2021/06/pakar-komunikasi-unpad-media-sosial-hancurkan-nilai-kemanusiaan/
https://www.instagram.com/p/CRYhbwyLf_Y/?utm_medium=copy_link
https://www.instagram.com/p/CRc9J1uDgWs/?utm_medium=copy_link
https://www.instagram.com/reel/CQfMrfgDEMX/?utm_medium=copy_link
https://www.instagram.com/p/CRYqYKtBgpD/?utm_medium=copy_link
Komentar
Posting Komentar