Langsung ke konten utama

RINTIHAN OKTOBER


Demonstrasi bukanlah suatu hal yang asing bagi semua orang. Hiruk pikuk dalam keramaian di tengah panasnya matahari hingga dinginnya dalam rintikan hujan. Menyuarakan aspirasi untuk mereka sang wakil rakyat. Bukan hanya dukungan, tetapi juga sebagai ‘pemberontakan’. Kebijakan dinilai tak menguntungkan menjadi alasan demonstrasi. Sudah menjadi nyawa bagi seseorang ketika haknya merasa terampas.

Ribuan mahasiswa turun aksi ke jalan untuk menyampaikan pendapat dengan orasinya yang lantang. Buruh juga tak mau kalah, mereka berdemo dengan mogok kerja. Penyampaian aspirasi yang anarkis juga sering kali terjadi, bukan tak mau dicegah tapi semua sudah terlanjur ada. Kerap terjadi penangkapan sampai korban jiwa, tapi hal itu sudah biasa. Beberapa berpikir, mereka memperjuangkan hoax tapi nyatanya entahlah.

Sudah 75 tahun Indonesia telah merdeka. Apa benar merdeka? Jika beberapa hak bersuara masih kerap dibungkam. Jumlah kita memang banyak, namun untuk mereka yang berdasi, kita hanya angin yang menerpa dan mengusik potongan rambut yang rapi. Mungkin aspirasi kami hanya ditimbun dan dijadikan arsip negara. Tapi, kami tidak pernah berhenti menyuarakannya. Negara ini negara demokrasi, siapa pun berhak berpendapat. Demi kepentingan bersama, untuk kami rakyat kecil. Kami tidak anarkis, tapi terkadang kami diboncengi oknum yang tak bertanggung jawab. Yang ingin nama kaum muda itu kotor, tidak jauh beda dengan yang berdasi.

Era Orba sudah lama berlalu, katanya kini sudah reformasi. Rasanya, baru kemarin mahasiswa bangun dari tidur panjangnnya. Peristiwa Trisakti tahun 1998 juga belum hilang dari ingatan. Ini malah harus terjadi lagi, mengapa demikian? Untuk apa kita saling menerka, kalau ini sudah menjadi garisan Yang Maha Kuasa. Memang, ini sudah menjadi takdir bangsa kita, menghadapi pandemi yang belum juga berakhir dan demonstrasi yang berujung anarkis.

Pandemi ini sudah banyak memakan korban, demonstrasi yang anarkis kerap menimbulkan korban juga. Lalu, mengaoa rakyat kecil yang selalu menjadi korban?  Konon katanya, pejabat yang terinfeksi virus ini  mendapatkan insentif. Mungkin itu hanya berita bohong belaka atau memang nyata? Konon katanya juga, demonstrasi ini berpola. Seakan memang sudah direncanakan. Skenario siapakah yang hampir membuat negeri ini kacau? Oknum yang pro-pemerintah atau memang mereka yang memang sudah tidak suka dengan pemerintahan yang sekarang?

RUU Cipta Kerja? Sebenarnya apa yang sedang diperjuangkan. Kami sedang bertahan untuk tetap hidup, meski harus berdampingan dengan virus. Mungkin tak apa, bagi mereka sang pejabat yang memiliki kemewahan. Tapi, ini sungguh masalah bagi kami yang bekerja untuk bisa makan hari ini. Usaha yang sepi pengunjung, pendapatan yang menurun, hingga dengan pengurangan karyawan saja sudah buat kami susah. Apalagi direpotkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa masih mengedepankan kaum elit ketimbang kaum kecil.

Permasalahan di bidang kesehatan mengenai pandemi juga belum usai. Pemerintah justru menambah bebannya sendiri dengan kebijakan di bidang ekonomi, ketenagakerjaan, dan sebagainya. Tapi, ketidakstabilan inilah yang semakin menyusahkan rakyat kecil. Mereka boleh berpendapat bahwa ini semata untuk kepentingan rakyat. Tapi, apakah benar untuk kepentingan rakyat?

Kaum muda memang suka rebahan, tapi bukan berarti tidak ada perlawanan. Kami tetap berjuang di garda depan, jika ketidakadilan mulai berkuasa. Memberikan sumbangsih penuh sebagai calon penerus bangsa. Bukan popularitas yang dicari, tetapi memang ingin beraksi menyuarakan aspirasi. Lantangnya kami bukan apa-apa, dibandingkan dengan mereka yang berjuang untuk sesuap nasi. Kami hanya ingin memberikan yang lebih baik dari sekarang, meskipun mereka merasa cara kami salah. Kami tak peduli, inilah cara kami kaum muda berjuang.

 Kami kaum muda ingin bangkit, tapi bukan dengan cara ini. Tidak ingin berontak, meski suara kami terdengar samar. Tetap ingin berjuang, walaupun banyak yang tak suka. Lantas, untuk apa Sumpah Pemuda selalu diperingati? Jika para pemuda hanya berdiam diri, melihat ketidakadilan di negeri ini. Bangkitlah para pemuda! Jadilah penerus bangsa yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.


 Oleh: Happy Ayuning Rizky

Editor: Reza Firnanto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NASKAH ESAI: Membangun Media yang Memanusiakan Manusia

     Penulis: Diki Mardiansyah (Juara 3 Lomba Esai Festival Jurnalistik LPM Suaka UNIKAL 2021)      Media semakin tidak memegang etika jurnalistik dan menuju keadaan yang semakin mengkhawatirkan. Banyak malpraktik di industri media. Profesi wartawan banyak digunakan oleh orang-orang yang tidak jelas, hanya untuk mencari keuntungan pribadi semata. Baik dengan mencari “amplop”, memeras, clickbait, membuat media “abal-abal” yang tujuannya hanya mencari uang, atau menjadikan media memuat berita yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan      Hal itu, saya kira, menjadi pelanggaran kode etik yang sangat serius dan semakin menggejala. Dengan dilanggarnya kode etik jurnalistik itu, implikasinya adalah media tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan karena membuat berita yang tidak berkualitas dan bermutu. Padahal, media menjadi sarana penting untuk menyampaikan pesan tentang kemanusiaan. Sebab, kemanusiaan adalah nilai universal yang dapat men...

Bendera One Piece Berkibar, Karena Suara Rakyat Tak Didengar

Di bulan Agustus, biasanya kita melihat Merah Putih berkibar di mana-mana. Tapi tahun ini ada yang berbeda. Di beberapa daerah, justru muncul pemandangan tak biasa, bendera bajak laut Mugiwara dari anime  One Piece berkibar di depan rumah warga. Sekilas terlihat lucu dan nyeleneh. Tapi kalau dipikir lebih dalam, ini bukan cuma soal anime atau tren visual. Bisa jadi, ini adalah simbol dari ketidakpuasan rakyat yang tak lagi tahu harus bicara lewat apa .

Kupas Tuntas TOEFL, IELTS, dan EnglishScore di ESA Talk Show

  Pekalongan (28/06/25) – Pada Sabtu pagi, Ruang Jlamprang Sekretariat Daerah Pekalongan dipadati oleh para peserta ESA Talk Show . Digagas oleh English Student Association (ESA) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pekalongan, talk show bertajuk “The Big Three of English Proficiency Tests: TOEFL, IELTS, and EnglishScore, Which Test is Right For You?” ini diselenggarakan khusus untuk membahas perbedaan serta karakteristik masing-masing tes kemampuan Bahasa Inggris, yakni TOEFL, IELTS, dan EnglishScore . Antusiasme tinggi mewarnai ESA Talk Show . Sebanyak 50 peserta memadati ruangan, tidak hanya dari kalangan mahasiswa Universitas Pekalongan (UNIKAL), tetapi juga siswa sekolah dari berbagai wilayah seperti Batang, Pekalongan, dan Pemalang. Acara ini menghadirkan dua narasumber berkompeten, yaitu Kepala Lembaga Bahasa Dr. Sarlita D. Matra, M.Pd., dan Khusna Irfiana M.Pd., yang siap berbagi wawasan mendalam mengenai tes kemampuan bahasa Inggris. Tidak hanya itu,...