Bendera Mugiwara simbol kru Topi Jerami yang melawan ketidakadilan dan kekuasaan korup, tiba-tiba hadir di dunia nyata. Saat bendera itu dikibarkan menggantikan atau menyamai posisi simbol negara, kita perlu bertanya: apa yang sedang terjadi? Mungkinkah ini cara sebagian orang menyampaikan keresahan terhadap situasi hari ini tanpa harus teriak dan turun ke jalan?
Faktanya, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara memang sedang turun. Survei Indikator Politik Indonesia (Mei 2025) menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap DPR hanya 69%, dan partai politik bahkan lebih rendah, sekitar 62% saja. Padahal, Presiden dan TNI masih dipercaya lebih dari 80% oleh masyarakat (Detik, 2025). Ini bukan sekadar angka, ini gambaran nyata bahwa sebagian besar rakyat mulai merasa jauh dari para wakilnya.
Lebih lanjut, data dari Litbang Kompas awal tahun ini menyebutkan 19% masyarakat merasa tidak puas dengan arah pemerintahan saat ini, meskipun secara umum angka kepuasan masih tinggi karena efek bansos dan program populis lainnya (Kompas, 2025). Artinya, ada keresahan yang tidak bisa disapu bersih hanya dengan subsidi atau simbolisasi. Ketika rakyat tak lagi merasa terwakili, mereka mencari cara lain untuk bicara kadang lewat sindiran, kadang lewat simbol.
Mungkin itulah kenapa bendera Mugiwara jadi populer. Karena di balik gambar tengkorak dan topi jerami, tersimpan harapan akan keberanian, keadilan, dan kebebasan. Hal-hal yang sayangnya mulai terasa langka dalam kehidupan sehari-hari di negeri sendiri. Bukan berarti mereka anti-NKRI, tapi bisa jadi mereka sedang jenuh, kecewa, atau merasa simbol-simbol resmi tak lagi mewakili perasaan mereka.
Tentu, tindakan mengibarkan bendera fiksi sejajar dengan Merah Putih tidak dibenarkan secara hukum. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 menyatakan bahwa Bendera Merah Putih tak boleh dikibarkan bersama atau lebih rendah dari bendera lain, kecuali dalam konteks resmi antarnegara. Tapi tidak apakan kalau lebih randah? dan daripada hanya marah atau menyalahkan, bukankah lebih bijak jika kita juga mendengarkan pesan yang sedang mereka sampaikan?
Fenomena ini bukan sekadar lelucon internet. Ini mungkin cermin: bahwa sebagian rakyat mulai bicara dengan cara yang tak biasa, karena merasa suara mereka tak cukup didengar lewat cara yang biasa.
Maka, mari jadikan momen ini bukan sekadar bahan viral, tapi juga bahan renungan. Karena mencintai negeri ini tak harus selalu formal, tapi tetap harus bermakna. Dan Merah Putih bukan cuma dikibarkan, tapi juga dimaknai, dijaga, dan dihormati. Bukan hanya oleh rakyat, tapi juga oleh negara itu sendiri.
Gimana menurut kalian? Apakah ini cuma tren anak muda, atau sinyal bahwa ada yang sedang tidak beres di Negeri ini?
Opini by: Dhuhana
Referensi:
Kompas. (2025). Survei Litbang Kompas: Kepuasan Publik Terhadap Pemerintah Awal Tahun. nasional.kompas.com
Detik News. (2025). Survei Indikator: Kepercayaan Publik terhadap Presiden 82,7% – DPR & Partai Politik Turun. news.detik.com
Komentar
Posting Komentar