Grafis Media Sosial Ilustrasi (PNGEgg)
Kecanggihan teknologi memiliki peranan penting bagi kehidupan. Namun, dampak negatifnya juga sangat besar. Mulai dari penipuan hingga kasus kejahatan siber lainnya. Bahkan di masa pandemi saat ini, kasus kejahatan siber semakin meningkat seiring dengan peningkatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) jumlah pengguna media sosial.
Dalam data yang diterbitkan pada periode 2019-2020, kasus kejahatan siber mengalami peningkatan 8,9% dari tahun 2018. Sedangkan data dari Internet World Stats yang terdapat pada laman Penetrasi Internet Indonesia Urutan ke-15 di Asia pada 2021, menyebutkan bahwa pengguna internet meningkat 3,1% per akhir Maret 2021.
Kejahatan siber (cybercrime) sendiri adalah kejahatan yang menggunakan teknologi informasi. Selain itu, kejahatan Siber juga merupakan salah satu bentuk kejahatan transnasional yang tidak mengenal batas, tanpa kekerasan (non violence), tidak ada kontak fisik (non physical contact), dan tanpa nama (non identity).
Dalam perkembangannya, pelaku kejahatan siber memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial ataupun non-finansial dengan menyerang sistem keamanan di dunia maya. Mereka mendapatkan keuntungan finansial di dunia maya dengan melakukan perdagangan pasar gelap, prostitusi, dan pornografi. Sedangkan tujuan non-finansial, mereka melakukan pencemaran nama baik melalui internet dengan menyebarkan identitas korban tanpa ijin, atau biasa disebut dengan doxing.
Dikutip dari laman TechNewsDaily What is Doxing ? (2/4/2013), doxing adalah turunan dari frasa "document tracing" adalah tindakan menjelajahi Internet untuk mengambil data pribadi seseorang, biasanya untuk tujuan jahat. Pelaku akan meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik (termasuk data pribadi) terhadap seseorang individu atau organisasi. Doxing merupakan proses pengambilan, hacking, dan penerbitan informasi seseorang yang ditargetkan, seperti nama, foto, alamat, nomor telepon, rincian kartu kredit, dan sebagainya. Target dari doxing sendiri bisa merujuk pada individu atau kelompok tertentu.
Data yang diperoleh dari laman resmi Patroli Siber, menyebutkan adanya peningkatan jumlah laporan masuk mengenai kasus kejahatan siber di 2019-2020 sebanyak 158 laporan dari tahun 2018-2019. Namun di Januari 2020 hingga Januari 2021, jumlah laporan yang masuk mengalami penurunan.
Doxing merupakan salah satu bentuk dari cyber privacy atau kejahatan penyalahgunaan data pribadi milik seseorang. Secara umum, ada tiga jenis doxing, yakni deanonimisasi, penargetan, dan deligitimasi. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dalam laporan Peningkatan Serangan Doxing dan Tantangan Perlindungannya di Indonesia yang diterbitkan pada 22 Desember 2020, menyebutkan bahwa kasus doxing dari tahun 2018-2020 mengalami peningkatan.
Kasus Doxing 2018-2020
● Deanonimisasi adalah doxing yang dilakukan dengan cara mengungkapkan informasi mengenai identitas orang (atau beberapa orang) yang sebelumnya tidak disebutkan namanya (anonim) atau dikenal dengan nama samaran (pseudonim). Contohnya membongkar pemilik akun media sosial.
● Penargetan adalah tindakan doxing yang dilakukan untuk mengungkapkan informasi spesifik tentang keberadaan seseorang secara fisik dengan menunjukkan lokasi keberadaannya. Contohnya menyebarkan nomor telepon, alamat rumah, atau kata sandi seseorang tanpa izin. Doxing jenis ini membuat seseorang yang ditarget lebih rentan terhadap serangan fisik.
● Deligitimasi adalah doxing yang mengungkap informasi yang bersifat sensitif tentang seseorang. Doxing jenis ini dilakukan dengan cara membagikan informasi pribadi dengan tujuan merusak kredibilitas, reputasi, dan/atau karakter korban. Misalnya dengan mengungkap rahasia pribadi, atau membuka preferensi seksual korban.
Perkembangan sistem teknologi informasi saat ini, kian memudahkan berbagai pihak yang tidak memiliki hak dapat mengakses data pribadi seseorang. Data tersebut dengan mudah dapat diakses, disimpan, dialihkan, bahkan disebarluaskan kepada pihak lain secara cepat tanpa izin dari pemilik data. Tindakan ini tentu merupakan tindakan yang melawan hukum. Sebab, setiap orang memiliki hak kerahasiaan mengenai data pribadinya.
Salah satu profesi yang sering menjadi korban kejahatan siber jenis doxing ini adalah para jurnalis dan aktivis pembela HAM. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia) AJI Jakarta: Usut Doxing, Intimidasi, Ancaman Pembunuhan Jurnalis Detik.com menyebutkan terdapat 5 kasus doxing yang dialami jurnalis sepanjang 2018-2020. Di antaranya yaitu:
● Jurnalis Detik.com, Rolando Franciscus, di-doxing karena berita tentang pernyataan juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid".
● Jurnalis Kumparan.com, Kartika Prabarini, dipersekusi karena tidak menyematkan kata 'habib' di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya.
● Jurnalis CNNIndonesia.com terkait berita berjudul "Amien: Tuhan Malu Tak Kabulkan Doa Ganti Presiden Jutaan Umat".
● Jurnalis Aljazeera, Febriana Firdaus, di-doxing karena pemberitaan terkait kerusuhan di Papua.
● Jurnalis Detik.com, Isal Mawardi, mendapat doxing atas berita yang diterbitkan tentang rencana Jokowi akan membuka mal di Bekasi saat masa pandemi Covid-19.
Dalam laporan tahunan SAFEnet pada 2020, terdapat 56% kasus doxing yang dialami jurnalis, sedangkan 22% dialami aktivis pembela HAM dan sisanya adalah warga yang terlibat dalam aksi demonstrasi. Salah satu aktivis pembela HAM yang menjadi target doxing ialah Pengacara Pembela HAM Papua, Veronica Koman. Pengacara Pembela HAM Papua ini diduga terlibat aktif menyebarkan informasi mengenai Papua di media sosial pribadinya. Pelaku doxing-nya adalah akun Twitter @digeeembok. Pada 9 Oktober 2019, akun tersebut memberitahukan serta menyebarkan lokasi tempat tinggal kedua orang tua Veronica Koman. Upaya doxing ini disertai dengan tindakan intimidasi terhadap Veronica.
Tindak kejahatan siber berupa doxing ini dapat menyerang siapa saja, salah satunya sivitas akademika. Dalam Press Release yang diterbitkan oleh Balairungpress.com, Tanggapan terkait Tindak Represi terhadap BEM UI (5/7/2021) menyebutkan akun media sosial milik beberapa pengurus BEM UI mengalami peretasan. Serangan ini muncul setelah mereka melayangkan kritik kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui akun Instagram BEM UI. Mereka menyebut Presiden Joko Widodo dengan sebutan The King of Lip Service. Peretasan akun media sosial para pengurus BEM UI diduga dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau kekuatan yang berasal dari sekitar pemerintah. Menilik tindakan peretasan tersebut hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki informasi dan peralatan khusus.
Selain itu, dilansir dari CNN Indonesia Akun Instagram BEM Unnes Hilang usai Sentil Ma'ruf dan Puan (7/7/2021), menyebutkan bahwa adanya tindakan represi yang dialami BEM KM UNNES setelah mengunggah kritikan terhadap Wakil Presiden dan Ketua DPR. Setelah unggahan tersebut, akun Instagram BEM KM UNNES dinon-aktifkan dan seluruh unggahan dihilangkan oleh oknum tak dikenal.
Kejadian itu semua merupakan wujud nyata dari melemahnya demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi digital. Karakteristik kejahatan siber yang menjadikan pelaku sulit dilacak atas unsur tindak kriminalnya yakni sulit untuk dibuktikan. Terlebih keterbatasan regulasi yang mengatur tindak kejahatan siber.
(Reportase Tindak Lanjut Lokakarya : Digitalisasi Media Pers Mahasiswa yang diselenggarakan oleh PPMI Nasional.)
Penulis : Kirana Ayudya Wardani
Editor : Reza Firnanto
Komentar
Posting Komentar