Katanya ini Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira). Katanya ini ajang demokrasi mahasiswa. Tapi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pekalongan, Pemira perdana tahun 2025 justru lebih mirip formalitas seremonial ketimbang pesta demokrasi. Yang kita lihat hanyalah calon tunggal, lawannya kotak kosong, aturan yang gaib, hingga tidak sedikit mahasiswa yang tidak tahu kalau ada Pemira.
Pemira Perdana, Tapi Rasa Aklamasi
Mari kita mulai dari fakta yaitu "Pemira FEB 2025" adalah yang pertama kali diadakan. Harusnya, ini jadi momentum sejarah titik awal demokrasi mahasiswa FEB. Sayangnya, awal yang diharapkan penuh gegap gempita justru berjalan dengan hambar.
Dari Berita Acara Panitia Khusus (Pansus), semua kursi strategis hanya punya calon tunggal:
Lawan tunggal mereka hanyalah kotak kosong. Jadi, mahasiswa dihadapkan pada pilihan absurd; “mau pilih orang ini, atau tidak usah pilih siapa-siapa?” Kalau ini namanya demokrasi, berarti aklamasi juga bisa kita sebut demokrasi.
Pemilihan atau Musma Berkedok Pemira?
Ada cerita lain yang beredar di kalangan mahasiswa yaitu, pemilihan ini sebenarnya sudah ditentukan di Musyawarah Mahasiswa (Musma). Artinya, prosesnya tidak jauh berbeda dengan forum organisasi yang diputuskan lewat kesepakatan internal, hanya saja kali ini dikemas dengan label Pemira plus e-voting biar terlihat modern.
Kalau begitu, pertanyaannya adalah, apakah kita benar-benar menjalankan Pemira dengan asas Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) atau sekadar memindahkan pola musyawarah lama ke sistem digital? Kalau jawabannya yang kedua, Pemira FEB ini tidak lebih dari sekadar ganti baju.
SK SEMA U: Ada Hak, Aturan Tidak Ada
Secara legalitas, Pemira FEB berdiri di atas SK SEMA U Nomor: 03/SK/SEMA UNIKAL/VIII/2025. Di dalamnya, ada poin menarik:
“Memberikan hak kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis untuk membuat Peraturan Daerah Fakultas (PERDAF) yang mengatur teknis pelaksanaan Pemira di lingkungan FEB sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemira dan Konstitusi Mahasiswa Universitas Pekalongan.”
Harusnya, inilah senjata utama FEB dengan bikin aturan jelas soal syarat calon, mekanisme kotak kosong, transparansi hasil, bahkan penyelesaian sengketa. Tapi nyatanya? PERDAF itu tidak pernah muncul di ruang publik.
Akun IG @pemira.febunikal hanya memuat tata cara login e-voting, QR code, timeline kampanye, dan pengumuman hasil. Dokumen aturan teknis yang tertera di SK tidak pernah terlihat. Kalau benar dibuat, kenapa tidak dipublikasikan? Kalau tidak dibuat, berarti SK hanya jadi formalitas kertas.
Ironinya, dokumen lain yang tak kalah penting malah bernasib lebih buruk. SK Tentang penetapan Panitia Khusus (Pansus) Pemira FEB yang seharusnya menjadi dasar legal penetapan pansus malah tidak bisa diakses publik karena tersimpan di folder sampah. Masa publik ga boleh liat?
Demokrasi yang Tak Diketahui Warganya
Ironisnya, di balik semua prosedur itu, ada mahasiswa yang bahkan tidak tahu Pemira ini berlangsung. Beberapa mengaku baru tahu setelah hasil diumumkan. Bagaimana mungkin sebuah “pesta demokrasi” diadakan, tapi sebagian undangan bahkan tidak sadar ada pesta?
Ini jelas bukan salah mahasiswa. Panitia punya tanggung jawab untuk menyosialisasikan Pemira secara luas. Kalau Pemira hanya diketahui oleh segelintir orang, maka hasilnya bisa jadi sah secara administratif, tapi kosong secara legitimasi.
Real Count yang Gaib?
Pemira kali ini menggunakan sistem e-voting: login lewat SIAKAD, OTP via email/WhatsApp. Modern? Ya. Transparan? Belum tentu.
Hasil yang dipublikasikan hanya angka final, tanpa ada real count terbuka. Bahkan mahasiswa di IG Pemira sempat protes, “real count-nya mana woiii.” Kritik ini menunjukkan keresahan: sistem digital seharusnya bisa menampilkan data real time, bukan sekadar angka jadi di akhir.
Kalau begitu, apa gunanya e-voting kalau transparansinya tidak lebih baik dari kotak suara manual?
Demokrasi Rasa Administrasi
Dengan semua data di atas, Pemira FEB 2025 lebih pantas disebut sebagai administrasi politik ketimbang demokrasi mahasiswa.
- Calon tunggal lawan kotak kosong.
- PERDAF tidak pernah terlihat.
- Sosialisasi minim, sampai ada mahasiswa yang tidak tahu Pemira berlangsung.
- Transparansi hasil lemah, real count tidak dipublikasikan.
Kalau begini, Pemira lebih mirip formalitas: SK keluar, panitia kerja, calon ditetapkan, hasil diumumkan. Demokrasi? Hanya ada di pamflet dan caption Instagram.
Demokrasi atau Formalitas?
Sebagai Pemira perdana, seharusnya ini jadi momentum membangun tradisi politik kampus yang sehat. Sayangnya, awal yang ditoreh justru penuh tanda tanya.
Demokrasi tanpa pilihan, tanpa aturan jelas, tanpa sosialisasi, dan tanpa transparansi hanyalah ritual administratif. Mahasiswa berhak mendapatkan lebih dari sekadar formalitas. Karena Pemira bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi juga bagaimana prosesnya membentuk budaya politik yang sehat.
Pemira perdana FEB UNIKAL 2025 sudah tercatat dalam sejarah. Tapi sayangnya, lebih tercatat sebagai demokrasi yang setengah hati, pesta demokrasi tanpa undangan, tanpa pilihan, dan tanpa aturan.
Opini by : Tim Redaksi
Komentar
Posting Komentar